Selasa, 22 Juni 2010

Melawan Hawa Nafsu

Dari buku 7 Langkah Meraih Rahmat dan Rida Allah
Oleh Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320 H)

Suatu kali Allah SWT berfirman, ”Dâwud! Hawa nafsumu datang kembali. Cintailah Aku dengan cara memeranginya.” Nabi ‘Isâ a.s. pernah berkata, “Laparkanlah hawa nafsu kalian, buatlah ia kesusahan dan kehausan. Semoga hati kalian bias melihat Allah SWT.” Rasulullah SAW bersabda, “Cinta itu buta dan tuli,” (H.R. Abu Dâwud).

Abu al-Dardâ meriwayatkan dari ayahnya, Rasulullah bersabda, “ Rasa cinta pada sesuatu bias membutakan dan menulikanmu. Dunia itu lawan akhirat. Oleh karena itu, siapa saja yang mencintai dunia berarti telah buta dan tuli dari akhirat. Sebaliknya, siapa saja yang mencintai akhirat berarti telah buta dan tuli dari dunia. Nafsu itu lawan dari Tuhannya. Hawa nafsu mengajak manusia untuk menaatinya. Siapa saja yang mencintai hawa nafsu berarti telah buta dan tuli dari Allah SWT. Sebaliknya, siapa saja yang mencintai Allah SWT berarti telah buta dan tuli dari hawa nafsu.”

Melalui hadist ini, kita dapat mengetahui derajat seseorang. Orang yang mencintai hawa nafsu pastilah berputus asa dalam membuka tirai untuk mencapai-Nya, karena hawa nafsu itu musuh-Nya. Orang yang menyambut musuh Allah pasti akan berpaling dari-Nya. Sebaliknya, orang yang mencintai Allah akan memalingkan dirinya dari hawa nafsu dan menghadapkan diri kepada Allah.

Rasulullah saw juga pernah bersabda kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian mengenai teman yang jika kalian menghormatinya, juga memberinya makan, minum, dan pakaian, tetapi teman kalian malah memperlihatkan gelagat jahat? Sebaliknya, jika kalian merendahkannya, membuatnya lapar, haus, dan tidak memberinya pakaian, teman kalian itu malah memperlihatkan iktikad baik?” Para sahabat menjawab, “Rasulullah! Ia pastilah teman yang jahat.”
Beliau menjawab, “Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya, musuh kalian itu hawa nafsu kalian sendiri yang letaknya ada di antara lambung kalian.”

Lewat riyâdhah, hati mereka
menjadi terpelihara
dari tipu daya
hawa nafsu

Senin, 14 Juni 2010

Sejarah Singkat Perbankan Syariah

Hampir dapat dipastikan bahwa pengelolaan dana dengan system bagi-hasil seperti mudharabah dan musyarakah sudah dikenal sudah sejak masa pra-Islam. Di Timur Tengah, kemitraan bisnis dengan teknik mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep pinjaman berbunga sebagai cara untuk membiayai aktivitas ekonomi (Crone,1987; Kazarian,1991; Cizaka, 1995). Ketika Islam datang, transaksi keuangan berbunga dilarang dan semua dana harus dikelola dengan system bagi-hasil. Bahkan Nabi Muhammad SAW mempraktikkan prinsip mudharabah ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi) untuk Khadijah. Dan khalifah kedua, Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana ini terus dipraktikkan selama berabad-abad tanpa perubahan bentuk sama sekali. Selama itu, konsep mudharabah tidak berkembang menjadi sarana untuk investasi berskala luas yang membutuhkan pengumpulan dana besar-besaran dari banyak investor-meskipun mazhab Hanafi membolehkannya. Perkembangan ke arah baru terjadi ketika muncul berbagai lembaga keuangan Islam.

Lembaga keuangan terkenal pertama yang didirikan oleh umat Islam muncul sekitar sepuluh tahun setelah Nabi saw wafat (632 M) oleh Khalifah Umar. Ekspansi bangsa Arab di bawah Khalifah Abu Bakar (mertua Nabi saw) yang dimulai tak lama setelah Nabi Muhammad saw wafat, melahirkan rasa persatuan, kesamaan tujuan, dan keyakinan dalam ikatan Islam. Namun, gairah para pejuang Badui terhadap perang dan harta rampasan sangatlah besar sehingga harus ada cara untuk mendistribusikan semua perolehan itu. Meski pasukannya sukses menaklukkan Romawi dan Persia-dua Negara adidaya waktu itu-Umar tetap mempertahankan gaya hidup hemat, sederhana, dan kukuh memegang prinsip moral. Warga negara yang miskin harus mendapat (dengan criteria tertentu) subsidi tahunan yang diambil dari ghanîmah (harta rampasan) dan pendapatan negara lainnya. Umar membentuk sebuah lembaga, dîwân, yang diilhami oleh dan meniru birokrasi Persia (ata) yang bertugas mendata semua warga yang layak mendapat subsidi. Pemasukan negara dari wilayah-wilayah taklukan disimpan di Baitul Mal, institusi yang memadukan konsep ata dan dîwân (Kazarian, 1991). Seorang pemimpin harus memastikan bahwa setiap orang – Arab maupun non-Arab – mendapatkan “bagian yang adil”.

Jauh di masa kemudian, yaitu pada paruh dasawarsa 1940-an, muncul upaya untuk membentuk perbankan Islam di Melayu, pada akhir 1950-an di Pakistan melalui Jama’at Islami (1969), dan di Mesir dengan nama Egypt’s Mit Ghamr Saving Banks (1963-1967) dan Nasser Sosial Bank (1971). Sebagian lembaga itu berorientasi ke wilayah pedesaan, namun kebanyakan tidak berhasil (karena berbagai sebab, bukan hanya karena berorientasi ke pedesaan). Misalnya, Bank Pakistani memberikan kredit tanpa bunga kepada pemilik tanah yang miskin sebagai modal pertanian. Bank tidak membebankan bunga, begitu pula para pemilik tanah kaya yang mendepositikan uang mereka di bank ini. Idealnya, dengan pengelolaan pertanian yang baik, bank akan mendapat banyak laba, karena para deposan pemilik tanah ikut memutuskan prosedur pemberian pinjaman dan presekotnyaserta siapa yang layak menerimanya. Namun, bank ini ‘bubar’ setelah berjalan beberapa tahun saja, sementara sebagian besar utangnya baru dilunasi pada awal 1960-an, karena para debitur membayarnya secara mencicil (Wilson, 1983, h. 75).

Di dunia Arab, sistem perbankan modern yang pertama didirikan adalah Mit Ghamr di Mesir pada 1963. Eksperimen ini memadukan sistem bank tabungan Jerman dengan prinsip perbankan koperasi pedesaan menurut kerangka umum aturan permodalan Islam untuk melayani masyarakat yang enggan menggunakan jasa bank konvensional karena alasan agama. Namun, bank ini beroperasi secara rahasia, tidak menonjolkan cirri keislamannya, karena takut dianggap sebagai bentuk fundamentalisme Islam yang diharamkan rezim penguasa. Proyek ini ditutup karena beberapa alasan pada penghujung 1967 dan operasinya diambil alih oleh Bank Nasional Mesir yang berbasis bunga. Ada sembilan bank seperti itu di Mesir yang telah diambil alih. Bank-bank yang tidak menarik atau membayar bunga, yang kebanyakan dihidupi oleh aktivitas perdagangan dan industri-baik secara langsung oleh bank maupun bermitra dengan pihak lain-dan berbagi keuntungan dengan para deposan, pada dasarnya lebih berfungsi sebagai lembaga investasi tabungan ketimbang bank komersial.

Alergi politik terhadap perbankan Islam tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya. Perbankan Islam sering kali tidak dipercaya karena diduga punya kaitan dengan gerakan fundamentalis Islam. Pada berbagai kesempatan, Syria, Irak, Oman, Arab Saudi berhasil menanamkan rasa takut di hati masyarakat untuk membentuk lembaga keuangan Islam (Henry, 1999b), sementara negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Turki dan Indonesia, terlambat mempromosikan gagasan ini. Pakistan secara perlahan maju untuk menciptakan sistem perekonomian tanpa bunga.

Satu-satunya institusi Islam yang bertahan pada periode awal ini adlah Nasser Social Bank (Mesir) dan Tabungan Haji (Malaysia). Nasser Social Bank didirikan sebagai bank komersial tanpa bunga pada 1971, di masa Presiden Anwar Sadat, yang beroperasi sebagai sebuah otoritas public yang otonom, tanpa menyebutkan cirri keislamannyadalam anggaran dasarnya. Bank ini masih bertahan sebagai agen pemberi pinjaman bagi kalangan yang tidak mampu melunasi utang, para mahasiswa, proyek-proyek kecil, dan beroperasi di bawah Departemen Urusan dan Jaminan Sosial. Muslim Pilgrims Saving Corporation didirikan pada 1963 untuk melayani tabungan haji warga Malaysia. Pada 1969, badan ini berkembang menjadi Pilgrims Management and Fund Board atau kini popular disebut Tabung Haji. Badan ini bertindak sebagai perusahaan permodalan yang menginvestasikan tabungan para calon haji sesuai dengan hokum Islam meski perannya agak terbatas, yakni sebagai institusi keuangan non-bank. Keberhasilan Tabung Haji mendorong pendirian Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), bank komersial Islam yang beroperasi penuh di Malaysia.

Banyak pelajaran yang dapat diperoleh dari pengalaman ini. Pertama, jika ingin berpegang pada konsep perbankan Islam, lembaga keuangan harus mampu memberikan seluruh produk perbankan komersial yang sesuai dengan prinsip Islam, bukan hanya bertindak sebagai institusi tabungan. Kedua, semua aktivitas bank harus bersifat komersial, bukan sosial ekonomi. Sebagian ulama berupaya membedakan antara bank Islam (yang punya tanggung jawab sosial ekonomi) dan bank yang halal, atau bank tanpa bunga. Namun, kalangan fukaha tidak mendukung perbedaan ini. Ketiga, lembaga keuangan Islam tidak akan berkembang jika dimusuhi dan dicurigai pemerintah (baik karena mengkhawatirkan fundamentalisme atau karena enggan beralih dari sistem perbankan berbasis bunga).

Jadi, ada banyak hal yang tak ada kaitannya dengan perbankan Islam yang merintangi penerapan aturan Islam. Kekayaan minyak Arab, yang didukung oleh naiknya harga energi pada 1973-1974, memberi basis modal financial yang diperlukan untuk menyokong perbankan komersial berskala besar serta menciptakan pangsa pasar yang cukup luas untuk mendukung ekspansi bank komersial dan juga bank Islam. Hasil minyak memungkinkan berbagai institusi keuangan untuk berpatisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara muslim, dan turut membangkitkan kembali rasa percaya diri bangsa-bangsa di Timur Tengah. Fenomena ini memicu perubahan iklim politik di banyak negara muslim sehingga mereka tak lagi takut mendirikan institusi keuangan Islam. Hampir semua bank Islam utama dan grup-grup perbankan yang didirikan pada 1970-an didanai oleh kekayaan hasil minyak.

Aliran yang Menolak Sunah Rosul

________________________________________
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya di Jakarta pada Tanggal 16 Ramadhan 1403 H. bertepatan dengan tanggal 27 Juni 1983 M., setelah :
Memperhatikan :
Di sementara daerah Indonesia dewasa ini diketahui adanya aliran yang tidak mengakui hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Syariat Islam seperti yang ditulis antara lain oleh saudara Irham Sutarto (Karyawan PT Unilever Indonesia di Jakarta).
Menimbang :
1. Bahwa Hadis Nabi Muhammad SAW adalah salah satu sumber Syari'at Islam ~ ang wajib dipegang oleh Umat Islam, berdasarkan : a. Ayat-ayat al-Qur-' an antara lain :
1. Surat al-Hasyr : 7
"apa yang diberikan Rasul kepadarnu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maku tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya ".
2. Surat an-Nisa: 80
"Barang siapa yarg mentaati Rasul itu, sesungguhnva ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari mentaati itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka ".
3. SuratAl-Imran, ayat: 31-32
"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. "
4. Surat An Nisa , ayat : 59
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi), dan Ulul amri diantara kami. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (AIQur'an dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baikakibatnya. "
5. Surat An Nisa, ayat : 65
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak berimcm hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa diri mereL tidak keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereti, menerima dengan sepenuhnya. "
6. Surat An Nisa', ayat : 105
"Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengumembawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusi., dengan apa yang Allah Wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orangyang Khianat. "
7. Surat An Nisa', ayat : 150-151
"Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan Rasulnya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan Rasul-rasulnya, dengan mengatakan "Kami beriman kepada sebagian dari (Rasulrasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain) serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) diantara yang demikian (iman dan kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yangmenghinakan.
8. Surat An Nahi : 44
"Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. "
b. Hadits Rasul SAW Antara lain:
"Dikhawatirkan seseorang yang duduk menyampaikan satu hadits dariku lalu ia berkata antara kami dan antara kamu kitab Allah, maka tidaklah kami perdapat padanya dari batang halal yang kami halalkan dan tidak kami dapati padanya barang haram yang kami haramkan kecuali sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah SAW seperti yang diharamkan Allah. "(RiwayatAlHakim). "Ikutilah Sunatku dan sunat Khulaf'aur Rasyidin vang diberi petunjuk sesudahku dan pegang teguhlah padanya. "(RiwaYat A1-Hakim dalami Mustadrak). "Aku telah meninggalkan pada kamu dua hal. Kitab Allah dan sunnatku, tidak kamu sesat selama berpegang padanya. (Riwayat Tirmidzi) "Hendaklah menyampaikan yang menyaksikan dari kamu kepada yarrg tak hadir. Ada kalanva orang yang tablighi lebih kuat rnemelihara (menghafal) dari pada yang mendengar: "(Riwayat Bukhari). c. Ijma' para sahabat Rasulullah baik selama hayatnya maupun setelah wafatnya.
2. Adanya aliran tersebut ditengah-tengah masyarakat akan menodai murninya agama Islam dan menimbulkan keresahan dikalangan Ummat Islam, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas/ketahanan nasional.
Mengingat :
Pendapat-pendapat para anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
MEMUTUSKAN
1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum syari'at Islam, adalah sesat menyesatkan clan berada di luar agama Islam.
2. Kepada rnereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut. agar segera bertaubat.
3. Menyerukan kepada ummat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu.
4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat.
5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber Syari'at Islam
Ditetapkan :
Jakarta, 16 Ramadhan 1403 H.
27 Juni 1994 M.br>

DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA


Ketua Sekretaris



Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML H. Musytari Yusuf, LA

Keutamaan Shalat Sunah di Rumah

Rumah yang di dalamnya didirikan shalat sunah akan dihiasi cahaya keberkatan dan ditaburi dengan kebaikan di dunia ini. Sebaliknya, rumah yang tidak atau jarang dilakukan shalat sunah, maka akan menjadi gelapaikan kubur. Rumah yang gelap akan jauh dari segala kebaikan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rosulullah saw bersabda :

“Lakukanlah shalat (sunah) di rumah kalian, dan jangan jadikan rumah kalian seperti kubur.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Maknanya kerjakanlah shalat di dalam rumah dan jangan kalian jadikan ia seperti kuburan yang tidak pernah dipakai untuk mengerjakan shalat. Dan yang dimaksud di sini adalah shalat sunah.
Diriwayatkan dari Jabir r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda saw, bersabda :

“Apabila salah seorang di antara kamu melakukan shalat di masjid, hendaklah ia juga meninggalkan sebagian shalatnya untuk dilakukan di rumah karena Allah akan jadikan rumahnya itu kebaikan.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Umar r.a., ia berkata, Rasulullah saw bersabda :

“Shalat seseorang di rumahnya adalah cahaya, apabila ia ingin maka sinarilah rumahnya.” (HR.Ahmad)

Jadi, untuk selain shalat fardhu, yakni shalat sunah, maka lebih baik jika dikerjakan di rumah saja, tidak di masjid. Imam Nasa’I dengan sanad yang baik meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda :

“Wahai sekalian manusia, shalatlah di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Bahkan ada kabar bahwa shalat sunah di rumah lebih utama daripada shalat di masjid Nabawi. Rosulullah saw bersabda :

“Shalat salah seorang dari kalian di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjidku ini, kecuali shalat fardhu.” (HR. Abu Daud. Al-Iraqi menyatakan bahwa sanad hadist ini shahih)

Abdullah bin Mas’ud r.a. pernah bertanya kepada Nabi saw tentang shalat di rumah dan shalat di masjid. Rosulullah bersabda :

“Tentang shalat di rumah dan shalat di masjid, sungguh kalian telah melihat kedekatan rumahku dengan masjid. Dan mengerjakan shalat di rumahku lebih aku sukai daripada mengerjakan shalat di masjid kecuali shalat fardhu.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dengan sanad yang baik)

Imam An-Nawawi menuliskan, “Bahwasanya Nabi saw menganjurkan shalat sunah di rumah karena dengan begitu tidak ada yang melihat, lebih terhindar dari riya’, dan lebih terjaga dari pembatal amal. Juga supaya rumah menjadi penuh berkah, turun di sana rahmat dan para malaikat, serta membuat setan lari terbirit-birit.”