Senin, 14 Juni 2010

Sejarah Singkat Perbankan Syariah

Hampir dapat dipastikan bahwa pengelolaan dana dengan system bagi-hasil seperti mudharabah dan musyarakah sudah dikenal sudah sejak masa pra-Islam. Di Timur Tengah, kemitraan bisnis dengan teknik mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep pinjaman berbunga sebagai cara untuk membiayai aktivitas ekonomi (Crone,1987; Kazarian,1991; Cizaka, 1995). Ketika Islam datang, transaksi keuangan berbunga dilarang dan semua dana harus dikelola dengan system bagi-hasil. Bahkan Nabi Muhammad SAW mempraktikkan prinsip mudharabah ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi) untuk Khadijah. Dan khalifah kedua, Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana ini terus dipraktikkan selama berabad-abad tanpa perubahan bentuk sama sekali. Selama itu, konsep mudharabah tidak berkembang menjadi sarana untuk investasi berskala luas yang membutuhkan pengumpulan dana besar-besaran dari banyak investor-meskipun mazhab Hanafi membolehkannya. Perkembangan ke arah baru terjadi ketika muncul berbagai lembaga keuangan Islam.

Lembaga keuangan terkenal pertama yang didirikan oleh umat Islam muncul sekitar sepuluh tahun setelah Nabi saw wafat (632 M) oleh Khalifah Umar. Ekspansi bangsa Arab di bawah Khalifah Abu Bakar (mertua Nabi saw) yang dimulai tak lama setelah Nabi Muhammad saw wafat, melahirkan rasa persatuan, kesamaan tujuan, dan keyakinan dalam ikatan Islam. Namun, gairah para pejuang Badui terhadap perang dan harta rampasan sangatlah besar sehingga harus ada cara untuk mendistribusikan semua perolehan itu. Meski pasukannya sukses menaklukkan Romawi dan Persia-dua Negara adidaya waktu itu-Umar tetap mempertahankan gaya hidup hemat, sederhana, dan kukuh memegang prinsip moral. Warga negara yang miskin harus mendapat (dengan criteria tertentu) subsidi tahunan yang diambil dari ghanîmah (harta rampasan) dan pendapatan negara lainnya. Umar membentuk sebuah lembaga, dîwân, yang diilhami oleh dan meniru birokrasi Persia (ata) yang bertugas mendata semua warga yang layak mendapat subsidi. Pemasukan negara dari wilayah-wilayah taklukan disimpan di Baitul Mal, institusi yang memadukan konsep ata dan dîwân (Kazarian, 1991). Seorang pemimpin harus memastikan bahwa setiap orang – Arab maupun non-Arab – mendapatkan “bagian yang adil”.

Jauh di masa kemudian, yaitu pada paruh dasawarsa 1940-an, muncul upaya untuk membentuk perbankan Islam di Melayu, pada akhir 1950-an di Pakistan melalui Jama’at Islami (1969), dan di Mesir dengan nama Egypt’s Mit Ghamr Saving Banks (1963-1967) dan Nasser Sosial Bank (1971). Sebagian lembaga itu berorientasi ke wilayah pedesaan, namun kebanyakan tidak berhasil (karena berbagai sebab, bukan hanya karena berorientasi ke pedesaan). Misalnya, Bank Pakistani memberikan kredit tanpa bunga kepada pemilik tanah yang miskin sebagai modal pertanian. Bank tidak membebankan bunga, begitu pula para pemilik tanah kaya yang mendepositikan uang mereka di bank ini. Idealnya, dengan pengelolaan pertanian yang baik, bank akan mendapat banyak laba, karena para deposan pemilik tanah ikut memutuskan prosedur pemberian pinjaman dan presekotnyaserta siapa yang layak menerimanya. Namun, bank ini ‘bubar’ setelah berjalan beberapa tahun saja, sementara sebagian besar utangnya baru dilunasi pada awal 1960-an, karena para debitur membayarnya secara mencicil (Wilson, 1983, h. 75).

Di dunia Arab, sistem perbankan modern yang pertama didirikan adalah Mit Ghamr di Mesir pada 1963. Eksperimen ini memadukan sistem bank tabungan Jerman dengan prinsip perbankan koperasi pedesaan menurut kerangka umum aturan permodalan Islam untuk melayani masyarakat yang enggan menggunakan jasa bank konvensional karena alasan agama. Namun, bank ini beroperasi secara rahasia, tidak menonjolkan cirri keislamannya, karena takut dianggap sebagai bentuk fundamentalisme Islam yang diharamkan rezim penguasa. Proyek ini ditutup karena beberapa alasan pada penghujung 1967 dan operasinya diambil alih oleh Bank Nasional Mesir yang berbasis bunga. Ada sembilan bank seperti itu di Mesir yang telah diambil alih. Bank-bank yang tidak menarik atau membayar bunga, yang kebanyakan dihidupi oleh aktivitas perdagangan dan industri-baik secara langsung oleh bank maupun bermitra dengan pihak lain-dan berbagi keuntungan dengan para deposan, pada dasarnya lebih berfungsi sebagai lembaga investasi tabungan ketimbang bank komersial.

Alergi politik terhadap perbankan Islam tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya. Perbankan Islam sering kali tidak dipercaya karena diduga punya kaitan dengan gerakan fundamentalis Islam. Pada berbagai kesempatan, Syria, Irak, Oman, Arab Saudi berhasil menanamkan rasa takut di hati masyarakat untuk membentuk lembaga keuangan Islam (Henry, 1999b), sementara negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Turki dan Indonesia, terlambat mempromosikan gagasan ini. Pakistan secara perlahan maju untuk menciptakan sistem perekonomian tanpa bunga.

Satu-satunya institusi Islam yang bertahan pada periode awal ini adlah Nasser Social Bank (Mesir) dan Tabungan Haji (Malaysia). Nasser Social Bank didirikan sebagai bank komersial tanpa bunga pada 1971, di masa Presiden Anwar Sadat, yang beroperasi sebagai sebuah otoritas public yang otonom, tanpa menyebutkan cirri keislamannyadalam anggaran dasarnya. Bank ini masih bertahan sebagai agen pemberi pinjaman bagi kalangan yang tidak mampu melunasi utang, para mahasiswa, proyek-proyek kecil, dan beroperasi di bawah Departemen Urusan dan Jaminan Sosial. Muslim Pilgrims Saving Corporation didirikan pada 1963 untuk melayani tabungan haji warga Malaysia. Pada 1969, badan ini berkembang menjadi Pilgrims Management and Fund Board atau kini popular disebut Tabung Haji. Badan ini bertindak sebagai perusahaan permodalan yang menginvestasikan tabungan para calon haji sesuai dengan hokum Islam meski perannya agak terbatas, yakni sebagai institusi keuangan non-bank. Keberhasilan Tabung Haji mendorong pendirian Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), bank komersial Islam yang beroperasi penuh di Malaysia.

Banyak pelajaran yang dapat diperoleh dari pengalaman ini. Pertama, jika ingin berpegang pada konsep perbankan Islam, lembaga keuangan harus mampu memberikan seluruh produk perbankan komersial yang sesuai dengan prinsip Islam, bukan hanya bertindak sebagai institusi tabungan. Kedua, semua aktivitas bank harus bersifat komersial, bukan sosial ekonomi. Sebagian ulama berupaya membedakan antara bank Islam (yang punya tanggung jawab sosial ekonomi) dan bank yang halal, atau bank tanpa bunga. Namun, kalangan fukaha tidak mendukung perbedaan ini. Ketiga, lembaga keuangan Islam tidak akan berkembang jika dimusuhi dan dicurigai pemerintah (baik karena mengkhawatirkan fundamentalisme atau karena enggan beralih dari sistem perbankan berbasis bunga).

Jadi, ada banyak hal yang tak ada kaitannya dengan perbankan Islam yang merintangi penerapan aturan Islam. Kekayaan minyak Arab, yang didukung oleh naiknya harga energi pada 1973-1974, memberi basis modal financial yang diperlukan untuk menyokong perbankan komersial berskala besar serta menciptakan pangsa pasar yang cukup luas untuk mendukung ekspansi bank komersial dan juga bank Islam. Hasil minyak memungkinkan berbagai institusi keuangan untuk berpatisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara muslim, dan turut membangkitkan kembali rasa percaya diri bangsa-bangsa di Timur Tengah. Fenomena ini memicu perubahan iklim politik di banyak negara muslim sehingga mereka tak lagi takut mendirikan institusi keuangan Islam. Hampir semua bank Islam utama dan grup-grup perbankan yang didirikan pada 1970-an didanai oleh kekayaan hasil minyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar